Dinginnya air ini tak terlalu menusuk tulangku,
pori-pori kulitku tak terbuka lebar ketika jutaan air ini merangkak di
permukaan kulitku. Sensor dingin yang ada di otakku sebagian tertutup oleh
pemandangan di depanku. Keceriaan dan tawanya merambat di antara partikel rapat
air ini, mampir ke pandangan mataku dan seterusnya berlanjut masuk ke kepalaku,
menularkan butiran-butiran keceriaan.
Adik perempuanku yang masih berseragam merah putih
itu sambil tetap tertawa berjalan ke belakang, mengajakku untuk mendekat ke
arahnya, berjalan lebih jauh bersama arus lembut sungai ini. Aku mulai berjalan
pelan mendekat ke arahnya, cipratan-cipratan air mulai dimainkan olehnya, tawa
dan ceria makin meresap ke dalam tubuhku.
“Ayo kak kejar aku.kejar kak.” Sambil tersenyum dia
berjalan lambat di jalan yang beralas air setinggi lututnya. Aku menurutinya
saja, membuatnya senang dan menggodanya, bagiku melihat tawanya seperti menjadi
pohon peneduh di teriknya gurun.
Beberapa gelembung air keluar dari mulutku satu
kali, dadaku tersentak, tawaku berhenti sejenak. Kemudian disusul gelembung
lain yang keluar dari mulutku dan kembali dadaku tersentak. Perlahan mataku
mulai terpejam, ribuan bulir air sungai tak berasa ini memenuhi mulut dan
dadaku. Beberapa detik kemudian tak ada yang kulihat, bayangan-bayangan adikku
yang tadi terlukis di kanvas air yang begitu jernih lenyap seketika.
“Ada apa dengan kamu nak?kenapa harus seperti ini?” Tetesan
air mata mengalir darinya, dari ibuku.
Aku hanya memandangnya kosong, badanku mulai terasa
dingin, dadaku masih sesak dan aku tetap mencoba mengeluarkan air yang
menyelinap masuk ke tubuhku tadi.
“Aku ingin menyusulnya bu, aku yang sudah membuatnya
tiada, membuatnya lenyap ditelan sungai, aku yang salah, aku menyesal tak mampu
meraih tangannya.” Kulihat air mata ibuku makin deras mengucur, karena
kelalaianku satu-satunya adik yang paling kusayang terseret air bah yang datang
begitu cepat dan membawanya entah kemana,tak pernah aku melihat tubuhnya lagi
walaupun sudah selama 1 minggu pencarian.
Tanpa berkata-kata ibuku dengan erat memelukku,
menumpahkan semua air matanya yang bercampur dengan tubuhku yang basah, menjadi
sebuah tanda bagiku bahwa ibu tak ingin kehilanganku juga, memberi isyarat tak
boleh lagi ada yang meninggalkannya, karena hanya tersisa aku seorang yang
tinggal bersama ibu.
3 komentar:
Blogging is the new poetry. I find it wonderful and amazing in many ways.
I learned a lot from reading through some of your earlier posts as well and decided to drop a comment on this one!
very informative post for me as I am always looking for new content that can help me and my knowledge grow better.
Posting Komentar