Kilauan cahaya terpantul dari kaca rias mungil yang aku
pegang sekarang, sisi-sisinya yang berbentuk siku-siku terlihat tipis dan
tajam, ingin kulepas kaca persegi empat ini dari dudukannya. Di bayanganku
sudah tergambar jelas apa yang akan aku lakukan selanjutnya, begitu kaca ini
aku lepas dengan erat aku pegang dan aku goreskan di tangan wanita cantik di
sebelahku ini. Matanya yang indah pasti akan tertutup menahan sakit, buliran
air mata perlahan pasti akan keluar ketika sayatan mengenai nadi di tangan
kirinya. Rambut lurus dan terurai sempurna itu pasti akan acak-acakan nantinya,
terhempas kesana kemari oleh kepanikan. Kulit putih mulus di tangan kirinya tak
lama lagi akan berwarna merah darah, noda-noda darah akan berceceran di kemeja
putihnya.
Tapi tunggu dulu, itu hanya bayangan jahatku jauh di dalam
hati sana, niat yang terpendam sangat jauh di balik tembok-tembok ketegaran
yang sudah aku bangun bertahun-bertahun. Tak mungkin tembok itu aku runtuhkan
seketika hanya untuk membangkitkan niat jahat yang selama bertahun-tahun sudah
aku pendam jauh, niat yang tak mungkin aku hilangkan sampai sekarang, entah
bagaimana caranya.
Dari bayangan di kaca rias yang aku pegang terlihat wajahnya
begitu cantik, aku membandingkannya dengan wajahku ini. Turun ke bawah terlihat
di cermin logam berbentuk persegi panjang berukuran kecil yang terukir nama
Adelia. Nama yang juga terukir di hatiku, ukiran yang aku coba sembunyikan jauh
di dalam dasar hati.
“kakakk Claraaa..” Suara lembut, kecil, dan khas anak kecil
mengagetkanku, membuyarkan imajinasi yang sedang aku tata di dalam kepala.
Seketika aku melihat ke arah suara itu, anak perempuan cantik datang
menghampiri dengan senyum khas anak usia 5 tahun itu.
“Haloo Vionaaa.” Aku menyapa dengan senyum ramah dan
mencubit pipinya yang gemuk dan lucu itu.
Aku membelai rambut panjangnya, rambut yang sama indah
dengan rambut teman kerja di sebelahku ini, Adelia. Teman kerja yang sudah
sekitar 3 tahun bersamaku di kantor ini.
“Emang ini anak ibunya, mirip banget.” aku melihat ke arah Adelia dan tersenyum, Viona mengurai
rambutnya ke belakang, sama persis seperti kebiasaan yang dilakukan oleh
ibunya, ya Adelia pun tak pernah ketinggalan mengurai atau menghempaskan
rambutnya ke belakang, kebiasaan yang menurun pada anaknya ini.
“Hai Clara.” Suara laki-laki dewasa terdengar di telingaku, suara yang dalam
dan lembut, dan ketika aku melihatnya ke arahnya, matanya sama dengan mata Viona.
Dega namanya, suami Adelia, ayah dari Viona, dan Dega laki-laki yang dulu
hampir menjadi suamiku, ketika aku dan dia nyaris menginjakkan kaki di jalan hidup bersama dia
membelok dan lebih memilih jalan bersama wanita lain.
0 komentar:
Posting Komentar