blogger widget
Kamis, 07 November 2013

Sebuah Akhir


Melihat pemandangan di depan mata membuat pikiran ini terbang melayang ke masa lalu, sepuluh tahun yang lalu. Samar-samar memang tapi terasa menyakitkan untukku, gumpalan kesedihan mulai pecah dan menyebar ke seluruh tubuhku. Selanjutnya air mata tak mampu berdiam di tempatnya saja, perlahan dorongan kuat dari buliran-buliran kesedihan menjadikannya turun perlahan mengikuti gravitasi.
Aku mencoba memejamkan mataku, mencoba menghapus semua ini, tapi ternyata justru kepingan-kepingan kenangan masa lalu makin tersusun rapi membentuk sebuah gambaran yang terasa nyata bagiku. Pertengkaran suami dan istri di antara hijaunya taman di sini mampu merubah semuanya, gersang dan kepedihan menjadi selimut baru di taman yang hijau ini.
Aku tak mau melawannya, aku biarkan setiap kepingan kenangan di kepalaku mengalir, membiarkannya seperti sehelai daun yang terbawa arus sungai dengan lembut. Aku membuka mataku dan melihat kembali apa yang ada di depanku. Aku seperti merasakan lagi suasana masa laluku, sebuah tontonan yang berakhir tak bahagia, suami istri itu berjalan menuju arah yang berbeda dengan wajah terlipat.
Aku tak tahu kenapa kenangan buruk ini terus melekat sepanjang hidupku, mungkin karena saat itu setiap butir kenangan yang aku terima menjadi pondasi bagi masa depan pikiranku. Jika ingin membuat seseorang menjadi manusia yang penuh amarah, kebencian, dan trauma maka cukup beri saja dia tontonan pertengkaran sepanjang hari ketika dia masih kecil, pasti itu akan membekas di pikiran dan perasaannya, seperti bekas luka yang tak kunjung sembuh sepanjang hidup.
“Ayo nak tiup lilinnya..” Aku tersentak dari lamunan. Seorang laki-laki dan perempuan yang baru aku kenal selama lima tahun kini menjadi ayah dan ibuku yang baru.

Aku memandangi angka 17 dengan lilin di atasnya yang menyala, tak kuasa aku menahan tangis, kobaran kecil api di lilin itu membuat air bah tumpah keluar dari mataku tak terbendung. Bongkahan besar kenangan jatuh tepat di pikiran dan perasaanku, membuat sebuah lubang besar kepedihan yang akan terus membekas, tak akan pernah hilang sepanjang hidupku. Kobaran api yang selalu membawaku untuk melihat ayah dan ibuku dulu saling membakar tubuh satu sama lain, menjadi akhir dari seluruh pertengkaran yang terjadi sepuluh tahun lalu, dan tentunya menjadi akhir bagiku untuk merasakan kasih sayang dari mereka berdua.
Rabu, 06 November 2013

Tak Boleh Lagi


Dinginnya air ini tak terlalu menusuk tulangku, pori-pori kulitku tak terbuka lebar ketika jutaan air ini merangkak di permukaan kulitku. Sensor dingin yang ada di otakku sebagian tertutup oleh pemandangan di depanku. Keceriaan dan tawanya merambat di antara partikel rapat air ini, mampir ke pandangan mataku dan seterusnya berlanjut masuk ke kepalaku, menularkan butiran-butiran keceriaan.

Adik perempuanku yang masih berseragam merah putih itu sambil tetap tertawa berjalan ke belakang, mengajakku untuk mendekat ke arahnya, berjalan lebih jauh bersama arus lembut sungai ini. Aku mulai berjalan pelan mendekat ke arahnya, cipratan-cipratan air mulai dimainkan olehnya, tawa dan ceria makin meresap ke dalam tubuhku.

“Ayo kak kejar aku.kejar kak.” Sambil tersenyum dia berjalan lambat di jalan yang beralas air setinggi lututnya. Aku menurutinya saja, membuatnya senang dan menggodanya, bagiku melihat tawanya seperti menjadi pohon peneduh di teriknya gurun.

Beberapa gelembung air keluar dari mulutku satu kali, dadaku tersentak, tawaku berhenti sejenak. Kemudian disusul gelembung lain yang keluar dari mulutku dan kembali dadaku tersentak. Perlahan mataku mulai terpejam, ribuan bulir air sungai tak berasa ini memenuhi mulut dan dadaku. Beberapa detik kemudian tak ada yang kulihat, bayangan-bayangan adikku yang tadi terlukis di kanvas air yang begitu jernih lenyap seketika.

“Ada apa dengan kamu nak?kenapa harus seperti ini?” Tetesan air mata mengalir darinya, dari ibuku.

Aku hanya memandangnya kosong, badanku mulai terasa dingin, dadaku masih sesak dan aku tetap mencoba mengeluarkan air yang menyelinap masuk ke tubuhku tadi.

“Aku ingin menyusulnya bu, aku yang sudah membuatnya tiada, membuatnya lenyap ditelan sungai, aku yang salah, aku menyesal tak mampu meraih tangannya.” Kulihat air mata ibuku makin deras mengucur, karena kelalaianku satu-satunya adik yang paling kusayang terseret air bah yang datang begitu cepat dan membawanya entah kemana,tak pernah aku melihat tubuhnya lagi walaupun sudah selama 1 minggu pencarian.

Tanpa berkata-kata ibuku dengan erat memelukku, menumpahkan semua air matanya yang bercampur dengan tubuhku yang basah, menjadi sebuah tanda bagiku bahwa ibu tak ingin kehilanganku juga, memberi isyarat tak boleh lagi ada yang meninggalkannya, karena hanya tersisa aku seorang yang tinggal bersama ibu.


Contact

agassirindy@gmail.com

Pengikut

blog-indonesia.com

Indonesia

Indonesia